Kamis, 23 Mei 2013

Permainan Tradisional Bukan Permainan Usang



BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Suatu kenyataan bahwa rakyat Indonesia memiliki sekian banyak ragam seni dan budaya nan eksotis, tetapi justru terlupakan hanya karena merasa malu dan gengsi terhadap dalih modernisasi yang salah satunya adalah permainan tradisional. Merupakan suatu keanehan apabila bangsa ini yang memiliki sekian banyak tradisi lokal sarat nilai edukasi, sosial, dan filosofi yang agung tetapi justru “buta” terhadap hakikat tradisi lokal tersebut.
Banyak pihak yang cenderung berargumen bahwa tradisi lokal Nusantara adalah tradisi kolot dan ketinggalan jaman. Arus globalisasi dan modernisasi menjadikan  permainan tradisional seperti egrang, gasing, gatrik, dan lain-lain menjadi usang bak tumpukan buku penuh debu. Hal ini dikarenakan anak-anak generasi sekarang ini lebih dimanjakan dengan PlayStation.
Dampaknya banyak tradisi lokal Indonesia seperti tarian tradisional, batik, dan sebagainya “dicuri” atau dikalim oleh bangsa lain. Perlu ditegaskan bahwa bangsa Indonesia kaya akan sejarah, seni, dan tradisi lokal. Namun ironisnya sebagian dari mereka pura-pura lupa atau melupakan diri dari realitas tersebut. Jika dikaji lebih detail makna sosial-filosofisnya, hal ini sungguh sangat mencerminkan betapa bangsa Indonesia kaya akan kearifan lokal.
Berdasarkan persoalan di atas, maka muncul masalah dimana permainan tradisional mulai menghilang. Tujuan kajian ini adalah untuk mengkaji tentang bagaimana cara mempertahankan permainan tradisional sebagai local wisdom. Berdasarkan persoalan di atas, maka muncul masalah dimana permainan tradisional mulai menghilang dikalangan para anak bangsa. Mereka lebih menggemari permainan modern dengan menyebut dirinya sebagai anak gaul. Sedangkan permainan tradisional mereka anggap ketinggalan jaman/jadul. Namun tanpa mereka sadari mereka telah terjajah oleh bangsa lain melalui globalisasi yang semakin bebas sehingga melupakan jati dirinya sebagai bangsa Indonesia.
Tujuan kajian ini adalah untuk mengkaji tentang bagaimana cara mempertahankan permainan tradisional sebagai local wisdom dan membuktikan bahwasannya permainan tradisional bukannlah permainan usang dan tidak ketinggalan jaman.

1.2  Rumusan Masalah
Bagaimana cara mempertahankan permainan tradisional sebagai local wisdom?

1.3  Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui bagaimana cara mempertahankan permainan tradisional sebagai local wisdom.

1.4  Manfaat Penulisan

1. Manfaat Teoritis
Setelah mempelajari makalah ini diharapkan pembaca dapat mengetahui dan memandang permainan tradisional bukan melulu sebagai permainan usang, akan tetapi terdapat proses pembelajaran yang terkandung di dalamnya.

2. Manfaat Praktis
a.    Bagi Penulis, makalah ini merupakan upaya untuk memenuhi tugas mata kuliah Perspektif Global.
b.    Bagi Guru SD, makalah ini merupakan refrerensi bagi guru untuk mengetahui bagaimana cara mempertahankan permainan tradisional sebagai local wisdom.
c.    Bagi siswa, makalah ini diharapkan dapat bermanfaat untuk meningkatkan pemahaman siswa akan nilai edukasi, sosial, dan filosofi yang terkandung dalam permainan tradisional dan menyadari bahwasannya permainan ini harus dipertahankan dan dilestarikan

BAB II
TEORI-KONSEP

2.1 Permainan Tradisional
Permainan tradisional anak-anak adalah salah satu genre atau bentuk folklore yang berupa permainan anak-anak, yang beredar secara lisan diantara anggota kolektif tertentu, berbentuk tradisional dan diwarisi turun temurun serta banyak mempunyai variasi. Oleh karena termasuk folklore,  maka  sifat  atau  ciri  dari  permainan  tradisional  anak  sudah  tua  usianya,  tidak diketahui asal-usulnya, siapa penciptanya dan dari mana asalnya. Biasanya disebarkan dari mulut ke mulut dan kadang-kadang mengalami perubahan nama atau bentuk meskipun dasarnya  sama.  Jika  dilihat  dari  akar  katanya,  permainan  tradisional  tidak  lain  adalah kegiatan  yang  diatur  oleh  suatu  peraturan  permainan  yang  merupakan  pewarisan  dari generasi terdahulu yang dilakukan manusia (anak-anak) dengan tujuan mendapat kegembiraan (James Danandjaja, 1987), sedangkan menurut Atik Soepandi, Skar dan kawan-kawan (1985-1986), yang disebut permainan adalah perbuatan untuk menghibur hati baik yang mempergunakan alat ataupun tidak mempergunakan alat. Sedangkan yang dimaksud tradisional ialah segala apa yang dituturkan atau diwariskan secara turun temurun dari orang tua atau nenek moyang. Jadi permainan  tradisional adalah segala perbuatan baik mempergunakan alat atau tidak, yang diwariskan turun temurun dari nenek moyang, sebagai sarana hiburan atau untuk menyenangkan hati.
            Permainan tradisional ini bisa dikategorikan dalam tiga golongan, permainan untuk bermain (rekreatif), permainan untuk bertanding (kompetitif) dan permainan yang bersifat eduktif. Permainan tradisional yang bersifat rekreatif pada umumnya dilakukan untuk mengisi waktu senggang. Permainan tradisional yang bersifat kompetitif, memiliki ciri-ciri : terorganisir, bersifat kompetitif, dimainkan oleh paling sedikit 2 orang, mempunyai kriteria yang menentukan siapa yang menang dan yang kalah, serta mempunyai peraturan yang diterima bersama oleh pesertanya. Sedangkan permainan tradisional yang bersifat edukatif, terdapat unsur-unsur pendidikan di dalamnya. Melalui permainan seperti ini anak- anak diperkenalkan dengan berbagai macam keterampilan dan kecakapan yang nantinya akan mereka perlukan dalam menghadapi kehidupan sebagai anggota masyarakat. Inilah salah satu bentuk pendidikan yang bersifat non-formal di dalam masyarakat. Permainan- permainan jenis ini menjadi alat sosialisasi untuk anak-anak agar mereka dapat menyesuaikan diri sebagai anggota kelompok sosialnya.
            Dari data-data yang berhasil dihimpun dari Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Departeman Pendidikan dan Kebudayaan, di tiap daerah (wilayah propinsi & kabupaten), terdapat 20 hingga 30 jenis permainan tradisional yang berhasil terdata.
       Peran Permainan Tradisional
Permainan tradisional yang ada di berbagai Nusantara ini dapat menstimulasi berbagai aspek perkembangan anak, seperti :
Aspek Motorik                        Melatih daya tahan, daya lentur,
                                                Sensorimotorik, motorik kasar, motorik
                                                Halus.
Aspek Kognitif                       Mengembangkan maginasi, kreativitas,
                                                Problem solving, stategi, antisipatif,
                                                Pemahaman konstektual.
Aspek Emosi                           Katarsis emosional, mengasah empati,
                                                Pengenalan diri.
Aspek bahasa                          Pemahaman konsep-konsep nilai.
Aspek sosial                            Menjalin relasi, kerjasama, melatih
kematangan sosial, dengan teman sebaya dan
meletakkan pondasi untuk melatih
keterampilan sosialisasi, berlatih peran
dengan orang lain yang lebih
dewasa/masyarakat.
            Aspek spiritual                        Menyadari keterhubungan dengan sesuatu
yang bersifat Agung (transcendental)
            Aspek ekologis                        Memahami pemanfaatan elemen-elemen
alam sekitar secara bijaksana.
            Aspek nilai-nilai/moral            Menghayati nilai-nilai moral yang
diwariskan dari generasi terdahulu kepada
generasi selanjutnya.

2.2 Faktor Yang Menyebabkan Hilangnya Permainan Tradisioanal

Tidak ada yang bisa membendung kuat dan derasnya arus globalisasi dan modernisasi. Kehadirannya tanpa pandang bulu bisa melibas semua hal. Siapa bisa bertahan, dia akan tetap hidup dalam globalisasi dan modernisasi. Permainan lawas pun berada di titik liminal antara ada dan tiada Di era ini, banyak bermunculan permainan alat-alat elektronik yang menggunakan teknologi canggih, sehingga membuat para generasi muda tertarik untuk memainkannya dan lupa akan permainan tradisional yang ada di daerah tempat tinggal mereka.
Ada beberapa faktor penyebab hilangnya permainan anak tradisional. Beberapa faktor tersebut adalah sebagai berikut :
a.         Sarana dan tempat bermain tidak ada,
Salah satu faktor yang turut membantu percepatan punahnya permainan tradisional adalah karena semakin hilangnya lahan-lahan terbuka (lapangan) yang biasa dijadikan tempat bermain dan berkreasi bagi anak-anak. Lahan terbuka, selain sebagai area resapan air hujan yang baik juga merupakan faktor kunci lestarinya permainan-permainan yang menurut sebagian orang sudah usang, disamping itu pula adanya lapangan sebagai ruang publik mampu mendorong dan menciptakan kreativitas yang ada dalam lingkungan tersebut. Dari miskinnya lahan bermain yang tersedia maka akhirnya mereka mencari pilihan permainan yang lain, tentu saja dalam hal ini adalah rentalan perangkat game yang modern.
b.        Adanya penyempitan waktu
Semakin kompleksnya tuntutan zaman terhadap anak yang semakin membebani menyebabkan mereka sibuk dengan tuntutan disekolahnya. Dengan banyaknya tugas-tugas sekolah dan tuntutan kurikulum yang semakin tinggi mengakibatkan waktu mereka tersita. Sehingga mereka lebih memilih permainan instan yang tidak mengeluarkan banyak tenaga dan bisa dilakukan di rumah. Sekarang ini banyak anak yang memiliki PS di rumah masing-masing.
c.         Permainan tradisional terdesak oleh permainan modern dari luar negeri dimana tidak memakan tempat, tak terkendala waktu baik itu siang hari, pagi, sore ataupun malam bisa dilakukan, serta tidak perlu menunggu orang lain untuk bermain,
d.        Terputusnya pewarisan budaya yang dilakukan oleh generasi sebelumnya dimana mereka tidak sempat mencatat, mendata, dan mensosialisasikan sebagai produk budaya masyarakatnya kepada generasi di bawahnya. Budaya instan yang sudah merasuk pada setiap anggota masyarakat sekarang juga memberikan sumbangan hilangnya permainan tradisional. Kita selalu terlena oleh budaya cepat saji, yang penting sudah tersedia dan siap “dimakan “ tanpa harus melalui proses.

2.3 Mengapa permainan tradisional perlu dilestarikan?
Dalam kajian sosial-budaya, permainan tradisional merupakan salah satu warisan budaya. Dan, warisan budaya memiliki keperluan untuk dilestarikan dan dipertahankan keberadaannya. Unsur ini merupakan sebuah sarana sosialisasi yang efektif dari nilai-nilai yang dipandang penting oleh suatu masyarakat. Nilai-nilai ini kemudian dapat menjadi pedoman hidup, pedoman berperilaku dalam kehidupan sehari-hari bermasyarakat.
Rahma (1996) menyatakan bahwa di dalam permainan rakyat seperti: Gobak sodor, kitri-kitri, man dhoblang, dan lain sebagainya sebenarnya mengandung banyak nilai filosofisnya, yaitu yang terwujud dalam fungsinya sebagai suatu media untuk menurunkan pesan-pesan budaya kepada generasi berikutnya. Oleh sebab itu, pesan-pesan budaya inilah yang dimaksudkan dengan hakikat permainan tradisional. Selain itu, permainan tradisional dirasa perlu untuk tetap dilestarikan karena memiliki substansi pembelajaran biologis, kognitif, dan sosioemosional pada anak. Ini sangat membantu proses perkembangan fisik dan psikis anak.         

2.4 Nilai-nilai Yang Terkandung Dalam Permainan Tradisional
Permainan tradisional mengandung nilai-nilai local wisdom dan pemahaman moral jika dibandingkan dengan permainan modern saat ini, seperti :
1.    Mengasah otak
Permainan “game online” merupakan model permainan yang mengedepankan aktivitas otak dari pada fisik. Sedangkan, permainan tradisional juga tidak melulu melakukan tindakan fisik, akan tetapi keterlibatan otak juga kerap dibutuhkan dalam permainan ini. Sebut saja permainan dhakon, permainan yang diadopsi dari filosofi bertani ini menuntut anak supaya berpikir bagaimana cara petani mendapatkan hasil sebanyak mungkin dan kemudian disimpan di dalam lumbung.
imagesq.jpg
Gambar 2.4.1 Contoh Permainan dhakon

2.    Melatih kemampuan menjalin relasi sosial
Kemampuan menjalin relasi sosial dengan individu lain merupakan sebuah tuntutan pada permainan tradisional lainnya. Gobak sodor, misalnya. Warisan wong londo ini menghendaki anak untuk saling bertemu dan berkomunikasi dengan anak-anak yang lain. Mereka akan termotivasi berlatih banyak hal, antara lain melatih mereka melakukan kerjasama, menelurkan konsep strategi yang matang, tepa selira atau saling menghormati, berbalas budi dan percaya diri.
imagesa.jpg
Gambar 2.4.2 Contoh Permainan Gobak Sodor

3.    Membantu proses perkembangan fisik dan psikis anak
Perkembangan fisik anak akan terlatih ketika mereka bermain engklek. Bagaimana tidak, dengan cara melompat, menggunakan satu kaki dari petak pertama hingga petak teratas akan melatih otot kaki dan membantu pertumbuhan tulang. Permainan egrang juga perpengaruh positif terhadap otot tangan. Unsur biologis yang terlibat dalam setiap permainan melandasi perkembangan otak, perubahan dan kemampuan bergerak, dan perubahan hormonal di masa puber.          
Macam arena permainan sondah-engklek5.jpg 
Gambar 2.4.3 Macam-macam Permainan Engklek

Gambar Permainan Tradisional Engklek.jpg
Gambar 2.4.4 Contoh Permainan Engklek

4.    Melibatkan unsur kognitif.
Pembelajaran yang melibatkan unsur kognitif juga akan membiak seiring dengan proses berlangsungnya permainan. Psikolog Swiss, Jean Piaget (1952), mengatakan bahwa ada dua proses yang bertanggungjawab atas cara anak menggunakan dan mengadaptasi sebuah konsep dasar informasi. Dua proses penting yang bertalian erat dengan permainan yang mereka lakukan adalah: asimilasi dan akomodasi.
Dalam permainan egrang, misalnya. Budi berumur delapan tahun diberi bambu yang sudah dirakit sedemikian rupa layaknya alat egrang. Dia belum pernah sama sekali menggunakan alat itu. Tetapi dengan cara mengamati orang lain berjalan tinggi dengan bambu maka dia mengetahui bahwa bambu tadi harus dinaiki pada bagian yang sudah dirakit kemudian diayunkan ke depan. Setelah mengetahui hal ini, dia akan memasukkan pengetahuan ini ke dalam konsep pikiran yang sudah dimilikinya (asimilasi).     
Akan tetapi, bambu tersebut terlalu berat untuk diayunkan, budi terjatuh karena tidak bisa menjaga keseimbangan antara kaki dan tangan untuk melangkah ke depan. Oleh karena itu, dia harus mampu menyesuaikan kekuatan kaki dan tangan bergerak secara seimbang. Penyesuaian ini mencerminkan kemampuannya untuk merubah sedikit pemahamannya tentang dunia (akomodasi).

BERMAIN-EGRANG3-370x246.jpg
Gambar 2.4.5 Contoh Permainan Egrang Saat Berkompetisi Di Sekolah

5.    Melatih perkembangan sosioemosional.
Dalam menjalankan sebuah permainan, secara tidak langsung anak juga melakukan proses perkembangan sosioemosional. Misalnya pada permainan bentengan. Mereka belajar bagaimana membangun hubungan yang baik dan melakukan kerjasama tim untuk mencapai tujuan yang sama. Perubahan emosi, perubahan kepribadian, perkembangan ketegasan dan rasa kegembiraan saat memenangkan permainan mencerminkan proses perkembangan sosioemosional anak.
bentengan.jpeg
Gambar 2.4.6 Contoh Jalannya Permainan Bentengan
           
6.    Mengendap dengan kuat dalam alam bawah sadar.
Permainan anak-anak dipelajari ketika mereka masih memasuki fase perkembangan kanak-kanak. Sehingga nilai dan pesan-pesan moral yang terdapat dalam permainan tradisional tersebut dapat masuk dengan cepat. Ini pada gilirannya akan mengendap dengan kuat dalam alam bawah sadar (unconsciousness) seseorang.
Dalam analisis Freud, ketika mereka sudah dewasa kecemasan, ketakutan, dan apa-apa yang dipikirkannya tidak bisa luput dari dorongan alam bawah sadarnya. Sehingga, jika sejak kecil mereka pernah mengenal nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom), etika perilaku dan nilai-nilai moral lainnya, maka ketika dewasa kelak konsep ini akan tetap hadir mengiringi alam sadar (consciousness) mereka yang kemudian termanifestasi dalam wujud perilaku nyata.

Kiranya tidak tepat jika menganggap permainan tradisional ini sebagai salah satu permainan yang telah usang dan layak masuk museum. Nyatanya, kebermaknaan nilai-nilai local wisdom dan pemahaman moral masih memiliki pengaruh kuat pada usia dewasa. Sejatinya, media ini juga mampu mereduksi generasi modern yang sarat dengan perilaku-perilaku konsumtif, hedon, dan glamorius duniawi. Sebuah budaya baru yang teralienasi dari kearifan lokal maupun moral dan etika. Saatnya memandang permainan tradisional bukan melulu sebagai permainan usang, akan tetapi proses pembelajaran yang terkandung di dalamnya perlu kita renungi bersama.

2.5 Perbandingan Antara Permainan Tradisional dengan Permainan Modern

Hits and Go. Itulah kata yang tepat untuk menggambarkan permainan anak-anak sekarang. Sangat dicintai dan kemudian dilupakan, lalu hilang ditelan bumi. Hal ini sangat berbanding terbalik dengan permainan anak pada jaman dulu. Hits, Hide, and Hits. Pada saat tetentu ada permainan anak yang menjadi permainan primadona, sedangkan permainan jenis lain seolah-olah hilang dan tidak akan pernah dimainkan lagi oleh anak-anak. Namun, adakalanya si permainan primadona tadi menghilang dan digantikan oleh permainan anak lainnya. Namun, bisa dipastikan suatu saat permainan yang sudah menghilang akan muncul dan kembali lagi.    
Perbedaan lain yang sangat mencolok adalah aksi interaksi, di saat anak-anak sekarang tergila-gila dengan dunia maya untuk mengekspresikan diri mereka dan menjalin pertemanan melalui situs sejaring sosial seperti facebook atau twitter, anak-anak di jaman dulu mengekspresikan diri dan karakter dengan alam, minat, dan teman sebaya secara langsung. Belari-larian, mandi hujan, perosotan di lumpur, mandi di kolam ikan yang keruh, memanjat pohon jambu tetangga, berburu sarang burung di pohon beringin, dan memakai gelang dari benang merah-putih-hitam supaya tidak diambil oleh makhluk halus sebagai anak. Dari hal-hal yang masuk akal sampai yang melampaui batas imaginasi pun dijalani dan tidak akan terlupakan.        
Pada permainan modern seorang anak terbatas kemampuannya dalam hal melatih ketangkasan dan ketrampilan tangan saja. Di samping itu pada permainan modern lebih mendidik anak untuk bersikap malas dan tidak mau belajar berkreasi atau bahkan tidak memiliki semangat kreatif karena permainan tersebut hanya bersifat instan. Sedangkan pada permainan tradisional di mainkan di ruang terbuka sehingga anak-anak terlibat secara langsung. Oleh karena itu spontanitas, sportifitas dan kreatifitas anak lebih kelihatan.
Selain itu, permainan anak modern relatif mahal dan mengharuskan orang tua merogoh kocek lebih dalam. Sangat berbeda dengan permainan anak jaman dulu yang murah dan kebanyakan memanfaatkan alat-alat dan bahan alam di sekitar. Sendal jepit yang di tumpuk-tumpuk dan dilempar dengan batu saja sudah bisa menjadi sebuah permainan yang menarik. Dua batang kayu bisa dipakai menjadi sebuah permainan yang dikenal sebagai permaianan pantak lele. Bahkan lapangan dan garis di tanah bisa menjadi banyak permainan-permainan menarik.       
Secara langsung dan tidak langsung, masa anak-anak lengkap dengan permainannya tradisional menjadi sebuah dunia yang luar biasa yang tidak terlupakan dan sarat akan nilai positif yang patut dikembangkan, seperti berlaku adil dan tidak curang, bersosialisasi dengan sesama, menghargai sesama, menjadi kreatif, memanfaaatkan dan menjaga alam, bertanggung jawab, menghargai waktu, dan masih banyak lainnya.      

BAB III
BENTUK KONKRIT-ACTION GURU

Salah satu yang dapat dilakukan oleh seorang guru untuk mempertahankan permainan tradisional adalah melakukan inovasi baru pada media pembelajaran. Prinsip pembelajaran yang digunakan dalam pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa mengusahakan agar peserta didik mengenal dan menerima budaya dan karakter bangsa sebagai milik mereka. Oleh karena itu, seyogyanya  media  pembelajaran  pun  dapat  disesuaikan  dengan  jati  diri  dan budaya bangsa.
Permainan tradisional telah lahir sejak ribuan tahun yang lalu, hasil dari proses kebudayaan manusia zaman dahulu yang masih kental dengan nilai-nilai kearifan  lokal.  Meskipun  sudah  sangat  tua,  ternyata  permainan  tradisional memiliki peran edukasi yang sangat manusiawi bagi proses belajar seorang individu, terutama anak-anak. Dikatakan demikian, karena secara alamiah permainan tradisional mampu menstimulasi berbagai aspek-aspek perkembangan anak yaitu: motorik, kognitif, emosi, bahasa, sosial, spiritual, ekologis, dan nilai- nilai/moral (Misbach, 2006). Dengan kata lain, permainan tradisional dapat digunakan sebagai media pembelajaran.

Langkah Strategis Inovasi Media Pembelajaran dengan Pemanfaatan Permainan Tradisional

Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa dapat terintegrasi dalam tiga hal, yaitu pengajaran seluruh mata pelajaran, program pengembangan diri dan budaya sekolah, maka melalui ketiga hal itu pula permainan tradisional dapat mengambil peranan sebagai media pembelajaran yang inovatif.

1.   Pengintegrasian Mata Pelajaran
Pengembangan nilai budaya dan karakter bangsa diintegrasikan dalam setiap pokok bahasan pada masing-masing mata pelajaran. Permainan tradisional yang sesuai dengan nilai-nilai budaya dan     karakter bangsa yang akan dikembangkan kemudian digunakan sebagai media pembelajaran. Berikut adalah contoh penerapan permainan tradisional dalam mata pelajaran untuk anak sekolah dasar kelas 1-3.

Tabel 1. Contoh Implementasi Permainan Tradisional
sebagai Media Pembelajaran
Mata Pelajaran
Nilai
Teknik Implementasi Permainan Tradisional
Pendidikan Kewarganegaraan
·      Demokratis : Terwujud dalam pemilihan yang akan menjadi “kucing” dengan sulit.
·      Kerja keras : Keuletan peserta yang bertindak sebagai kucing.
·      Gotong royong : Kerjasama pemain untuk mengelabuhi si “kucong” agar temannya tidak tertangkap.
Nama Permainan : Kucing-kucingan
Peserta : lebih dari 3 orang, ada yang bertindak sebagai kucing, ada yang bertindak sebagai musuh.
Alat yang digunakan : sapu tangan (untuk menutup mata)
Cara bermain : seluruh peserta membuat lingkaran, sambil berdiri merentangkan tangan dan saling bergandengan, kecuali “kucing” berdiri di tengah dengan mata tertutup. Seluruh peserta yang membuat lingkaran terus berputar atau bergerak hingga salah seorang tertangkap. “Kucing” yang berhasil menangkap lawannya harus menerka siapa nama lawannya.
Penjaskes
·      Kerjasama
·      Kecepatan berlari
·      Kemampuan strategi yang handal.
Nama Permainan : Bentengan
Alat permainan : berbagai macam alat yang digunakan sebagai benteng, seperti pohon, tiang, dan sebagainya.
Cara bermain : Permainan ini terdiri dari dua regu dengan jumlah anggota sama. Tujuan utama permainan ini adalah untuk menyerang dan mengambil alih benteng lawan dengan menyentuh tiang atau pilar yang dipilih oleh lawan dengan meneriakkan kata “benteng”.

2.   Program Pengembangan Diri
Program pengembangan diri siswa salah satunya melalui kegiatan ekstrakurikuler. Bengkel permainan tradisional bisa menjadi salah satu model kegiatan ekstrakulrikuler bagi peserta didik dengan memfokuskan rasa ingin tahu, kreatif, cinta tanah air sebagai nilai-nilai yang akan dikembangkan. Di bengkel ini anak diberi kebebasan untuk bereksplorasi ide dan berkreativitas dengan permainan tradisional. Memodifikasi alat-alat permainan tradisional sesuai dengan kreativitas menjadi salah satu pilihan kegiatan yang dapat mendorong pengembangan nilai rasa ingin tahu dan kreatif. Namun demikian, pelaksanaan program ini tetap membutuhkan pendampingan dari guru secara agar proses pengembangan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang terkandung dalam permainan tradisional dapat berjalan optimal pada diri peserta didik dan nilai tersebut dapat berkembang secara optimal dalam diri peserta didik.

3.   Budaya Sekolah
Waktu istirahat senggang di sekolah menjadi salah satu sarana berkembangnya suatu budaya sekolah. Dalam rangka pengembangan budaya dan karakter bangsa, waktu istirahat di sela-sela jam belajar bisa dijadikan wahana sosialisasi permainan tradisional sebagai bagian dari budaya bangsa, sekaligus menginternalisasikan nilai-nilai karakter yang terkandung di dalamnya. Melalui permainan, anak akan belajar lebih santai, tanpa terbebani oleh hal-hal yang condong kea rah kognitif sehingga tak jarang memberatkan anak.
Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa dapat dilakukan pula dengan berbagai kegiatan yang bersifat kondisional, misalnya Festival Permainan Tradisional. Kegiatan ini sebaiknya melibatkan seluruh elemen sekolah, baik kepala sekolah, guru, peserta didik, tenaga kependidikan bahkan orang tua peserta didik. Masing-masing hendaknya memaknai Namun, hal yang perlu digarisbawahi adalah walaupun bersifat kondisional, kegiatan ini harus tetap memberikan kesan sepanjang proses pembelajaran anak.



















BAB IV
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kajian telah menunjukkan bahwa permainan tradisional mengandung nilai-nilai local wisdom yang sarat nilai edukasi, sosial, dan filosofi maka dapat disimpulkan bahwa :
1.      Jika permainan tradisional dikaji lebih detail makna sosial-filosofisnya, hal ini mencerminkan betapa bangsa Indonesia kaya akan kearifan lokal.
2.      Faktor utama yang menyebabkan hilangnya permainan tradisional adalah derasnya arus globalisasi dan modernisasi.
3.      Permainan tradisional merupakan suatu media untuk menurunkan pesan-pesan budaya kepada generasi berikutnya oleh karenanya perlu dilestarikan keberadaannya.           
4.      Permainan tradisional dapat digunakan sebagai media pembelajaran.
5.      Saatnya memandang permainan tradisional bukan melulu sebagai permainan usang, akan tetapi proses pembelajaran yang terkandung di dalamnya perlu kita renungi bersama.

3.2 Saran
Kita sebagai penerus bangsa yang berjiwa modern harus tetap mencintai budaya Indonesia dan kekayaan seni, alam, dan budaya yang terkandung di dalamnya. Dan juga pewarisan budaya yang telah dilakukan oleh generasi sebelumnya harus kita sosialisasikan sebagai produk budaya masyarakat kepada generasi di bawah kita, sehingga mereka tidak akan punah seperti permainan tradisional yang dikaji dalam makalah ini.





DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman,Wildan.2010.Permainan Usang Pemuda Tua.

Awwaliyah, Irma, Muhamad Saefrudin. 2008. Inovasi Media Pembelajaran Berbasis Permainan Tradisional Dalam Rangka Pengembangan Pendidikan Budaya Dan Karakter Bangsa. Bogor : Institut Pertanian Bogor.


Machmud, Ammar. “Menempati Jejak Yang Terabaikan”. Koran Tempo, 25 september 2011. [14 Mei 2013]

Misbach, Ifa. 2006. Peran Permainan Tradisional Yang Bermuatan Edukatif Dalam Menyumbang Pembentukan Karakter dan Identitas Bangsa. Jakarta : Universitas Pendidikan Indonesia.

Setiawan,Ibnu Eko.2012.Permainan Tradisional Yang Mulai Usang.

Sakti, Agus.2008.Permainan Tradisional Bukan Permainan Usang.
2013